Sabtu, 26 Februari 2011

HIDUP DENGAN KEMULIAAN

Dalam percakapan dengan seseorang, dia mengatakan kepada saya bahwa dirinya sekarang ada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan sekali setelah memasuki masa pensiun. “Dulu apapun yang aku mau aku punya. Dan apabila tidak kupunya aku tinggal pergi ke mal ataupun toko, tinggal beli. Teken kartu kredit dan habis perkara. Bahkan aku kadang-kadang sempatkan ke Singapore dalam akhir pekan-ku hanya untuk memenuhi keinginanku akan sesuatu barang misalnya. Sekarang hal itu cuma tinggal kenangan. Gaji pensiunku hanya untuk setengah bulan dengan gaya hidup yang telah jauh kuturunkan level-nya.” Kemudian apa yang kau lakukan untuk menanggulangi masalah itu?”, balik saya bertanya kepadanya. “Aku coba mendekatkan diri kepada Allah swt dan upaya ini jauh berhasil dari pada upaya-upaya mendapatkan nafkah tambahan. Kemuliaan yang aku dapatkan dulu dari orang-orang sekelilingku dengan segala bentuk perhatian dan pertolongan tidak lagi aku dapatkan dan hasilnya boleh dibilang nihil. Kadang-kadang aku merasa frustasi dengan kehidupan ini. Banyak pengaruhnya pada ritme keimananku kepada-Nya, walaupun banyak ustadz mengatakan memang keimanan itu demikian adanya. Turun naik mengikuti emosi pelakunya. Dan dengan keadaan ekonomiku kini, aku juga tidak bisa lagi bersadaqah.Tapi hal semacam ini amat merisaukan pikiranku. Aku tidak mau jauh lagi dari Allah swt. Apa yang aku harus perbuat, kawan? Demikian dia meminta nasihatku. Saya bilang begini. “Tetaplah istiqomah dengan niatmu untuk selalu dekat dengan Allah, apapun yang kau lakukan untuk mencapai hal itu, pertahankanlah bahkan tingkatkan kalau bisa. Karena apa? Karena itu satu-satunya spiritual treasure, harta spiritual yang kau miliki yang amat berharga dan jauh dari jalan maksiat. Tinggalkanlah angan-angan untuk mendapatkan kembali sorga dunia yang pernah kau dapatkan dulu. Kemuliaan yang kau dapatkan dulu itu semu. Kemuliaan dari Allah swt pasti lebih membahagiakan. “Bukan begitu?”, saya bertanya kepadanya. Dia mengangguk tanda setuju. Masih tertunduk sejak dia memulai percakapannya dengan saya. “Asal kau bisa bertahan hidup dengan keadaan sekarang ini maka kedekatanmu dengan-Nya itu cukup bekal untuk mengantar kau dalam menuju pertemuan kau dengan sang Khaliq. Bagaimanapun kau akan kembali kepada-Nya, seperti yang kita yakini sebagai orang yang beriman. Tentu kau inginkan kembalimu keharibaan-Nya dalam keadaan khusnul khatimah. Bukan begitu? “Ya, sangat ingin. Cuma aku sekarang merasa sendiri, sepertinya tidak ada orang yang mau lagi menolongku. Karena itu aku datang kepadamu.” Waktu kau dipanggil nanti, bukankah kau akan menghampiri-Nya sendirian?” Hampir menyindir aku bertanya kepadanya. “Ya, ya aku paham itu. Tapi berilah aku pencerahan.”

Saya amat mengenal dia ketika dia sedang sukses 25 an tahun yang lalu. Dalam pandangan saya dia bukanlah sosok yang jauh-jauh benar dengan kehidupan agama. Mungkin niat atau tekadnya untuk “dekat dengan sang Khaliq” tidaklah se-intens seperti sekarang. Saya sering melihatnya dalam beberapa majlis taklim dan kegiatan islami dalam beberapa tahun setelah masa pensiunnya. “Mungkin bukanlah pencerahan seperti yang kau dapatkan dari para ustadz lainnya, tapi aku ingin bercerita kepadamu. Mudah-mudahan kau dapat mengambil manfaat dan bisa menjawab apa yang kau sedang cari.”, begitu saya memulai lagi percakapan dengan dia.

Saya memulai cerita saya dengan mengucapkan bismillahirrochmanirrochim. “Kawan, upaya manusia untuk mendapatkan kehidupan yang baik didunia sering digambarkan dengan upayanya untuk meraih apa yang lazim disebut sorga dunia. Kesenangan hidup yang mengarah kepada hedonisme sering menjadi patokan akan indahnya kehidupan ini. Adapun kemuliaan yang didapatnya sering mengikut pada kedudukannya dimasyarakat yang kemudian menempatkan dia merasa kedudukannya mulia karena terpandang dimasyarakat. Terhadap kehormatan ini sering seseorang menjadi lupa akan pentingnya mengelola kekuasaan yang diperolehnya itu berbarengan dengan kekayaan yang melimpah yang diturunkan Allah kepadanya. Berapa banyak contoh orang-orang yang berpengaruh dan menduduki suatu kekuasaan merasa bahwa kekuasaan itu harus dimilikinya terus. Karena asyik ma’syuk dengan kekuasaannya maka dia lupa bahwa apa yang dimulai pasti akan berakhir. Atas kemamuan sendiri atau orang lain. Keadaan ini juga sering membuat si pelaku lupa bersadaqoh, berinfaq, menyisihkan sebagian hartanya bagi orang miskin, dhuafa atau anak yatim. Ada dua ayat pada Surah Ali 'Imran yang mungkin bisa menjadi penyebab terhadap apa yang kau alami saat ini. "Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik baginya. (QS 3:180). Dan pada ayat QS 3:186 yang mengisyaratkan "Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu." Barangkali apa yang kau terima sekarang adalah ujian dari pada-Nya atas resultante dari kebijakan-kebijakanmu pada saat kau berkuasa dan mugkin menyakitkan orang lain dengan harta yang kau pernah miliki dan kurang kau sedekahkan. Kau ingat-ingatlah itu.”

"Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata "Tuhanku telah memuliakanku" (QS 89:15).

“Saat kau menerima kesenangan dan kemuliaan itu dahulu, tentu kau mengira itu adalah kemuliaan yang datang begitu saja tanpa ada tujuan dari pada-Nya. Selalu ada pesan dan hikmah dari setiap hidayah dan musibah yang Allah turunkan. Kau sudah diuji sejak itu dan hingga kinipun kau diuji karena mungkin kau belum lulus ujian. Lebih baik apabila ini memang ujian bagimu karena dengan begitu Allah swt masih menyayangimu. Barangkali kau diuji karena kau sedang berupaya mendekatkan dirimu kepada-Nya. Maka entah kebahagiaan apa pula yang akan kau dapatkan ketika kau merasa bahwa ujian itu telah berlalu. Kau jalani saja dengan istiqomah dan penuh taqwa kepada-Nya. Dan jangan sampai apa yang kau terima hari ini kau sikapi dengan sikap su’udzon kepada Allah. Karena Allah akan bersikap seperti bagaimana manusia menyikapi-Nya. Karena Allah swt Maha Tahu seperti firman-Nya: "Adapun bila Tuhan-Nya mengujinya lalu membatasi rezeki-nya dia berkata Tuhanku menghinakanku" (QS 89:16). Nasihat saya kepadanya berakhir disini. Dia pulang dengan buah pikiran untuk meng-introspeksi sikapnya dimasa yang lalu dan mencoba memperbaiki apa yang memang dirasa mungkin menjadi penyebab atas ujian yang dihadapinya sekarang. Begitu dia bilang.

Manusia diuji sejak dia akil balig, yaitu umur ketika dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sejak itu amal-amalnya di dunia ini adalah ujian. Ayat diatas menyatakan salahlah adanya orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah kemuliaan dan kemiskinan itu adalah suatu kehinaan. Keduanya adalah ujian.

Lebih berat ujian diberikan dalam bentuk kekayaan dari pada kemiskinan karena dengan kekayaan ada kecenderungan "lupa" kepada Allah. Apabila seseorang tidak lulus ujian ini, hal itu bisa mengantarkannya kepada kekufuran. Demikian juga berlaku dengan kekuasaan yang didalamnya mengikut nafsu untuk mendapat kekayaan. "Power tents to corrupt", ungkapan yang sering dinyatakan banyak orang. Allah berfirman: "dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan" (QS 89:20).

Sedangkan dengan ujian kemiskinan, masih memberinya ruang lebih untuk mengingat Allah. Melantunkan do’a untuk keluar dari kemiskinan yang dihadapinya adalah bagian dari mengingat Allah. Walaupun tidak sedikit orang yang amat nyaman dengan segala kemurahan Allah swt yang memotivasinya untuk selalu dekat dan lebih dekat dan bertakwa kepada-Nya. Yang terakhir ini adalah kondisi yang paling sesuai untuk dilakukan. Kuncinya adalah banyaklah bersyukur. Seperti yang firmankan Allah swt: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS 14:7).

Yang membedakan kemuliaan manusia dihadapan Allah swt adalah taqwanya, demikian bunyi sebuah hadits.

Yang benar datangnya dari Allah swt, yang salah datang dari penulis untuk itu aku mohon ampun kepada Allah swt dan mohon maaf kepada pembaca majlis ini. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar